Minggu, 08 November 2009

Hari-hari Warga Gunung Tigo Pasca Gempa

Bencana gempa dan longsor sudah berlalu satu bulan lebih di tiga korong ini. Sisa-sisa bencana masih membekas. Namun, nasib warga di kawasan Gunung Tigo, Nagari Tandikat, kecamatan Patamuan masih tidak jelas. Sekabur hari-hari mereka menjadi pengungsi di tenda dan rumah darurat. Soal perut, mereka tidak memikirkan lagi. Hidup yang terus berlanjut ini yang perlu disikapi. Berikut laporan wartawan Padang Ekspres (Grup Padang Today), yang saya minta sedikit laporannya dari Sandy Adri, saat berkunjung ke lokasi baru-baru ini.

Sore baru saja berlalu, azan Maghrib menjelang. Puluhan laki-laki antre di lokasi Mandi Cuci Kakus (MCK) pengungsian warga tiga dusun, Cumanak, Kapalo Koto dan Lubuak Laweh di Korong Kampuang Paneh, Nagari Tandikek. Sembari mengantre di tiga kamar mandi darurat, laki-laki dewasa tampak berbincang ringan. Padang Ekspres yang ikut bergabung, menyimpulkan bahwa mereka masih menghitung hendak kemana nasib akan dibawa.

“ Kalau perut sekarang kita tidak berfikir lagi. Pakaian juga. Tapi, kemana kita akan berteduh, kemana kita cari. Kalau kita tinggalkan kampung, lahan tempat kita mencari hendak diapakan,” ujar Rusli, 34, kepada salah seorang rekannya yang berbalut handuk.

Tak ada yang menjawab apa yang diutarakan Rusli. Namun, semuanya menangkap pembicaraan tersebut sebagai sebuah curahan hati. Hanya anggukan sebagai penanda kalau mereka sepaham dengan Rusli.

“ Kabarnya kita akan dipindahkan ke Sijunjung. Kan waktu itu Bupati Sijunjung mengatakan mereka siap menampung di daerah yang telah disediakan. Katanya, kita akan di-translok,” kata Bujang, sembari membubuhkan odol ke penggosok giginya.

Soal MCK, sebelum bencana ini warga di kawasan tersebut menggunakan Lubuk Laweh dan Lubuk Jantan—demikian mereka menyebut dua sungai yang bertemu di kawasan tersebut. Pascagempa dan longsor yang menyebabkan 162 warga tertimbun di tiga dusun tersebut.

“Kami masih ragu menggunakan air sungai untuk berbagai keperluan. Soalnya, bukan tidak mungkin air tersebut bercampur dengan rembesan kuburan massal,” sebut Marpanye, 32, warga Cumanak.

Alhasil, ratusan pengungsi bergantung dengan pasokan air dari tangki-tangki PDAM yang datang sekali sehari. Dulunya, untuk kebutuhan air, selain dari sungai, mereka memanfaatkan beberapa sumber mata air di pinggang Gunung Tigo dengan pipa bambu atau selang-selang kecil. “Tapi sekarang tidak bisa lagi. Sumber airnya ikut tertimbun,” lanjutnya.

Warga selamat dari tiga dusun tersebut, diungsikan terpisah di tiga titik. Warga Cumanak diungsikan ke Korong Kampung Paneh. Sementara, warga Lubuk Laweh di dusun Jajaran. Demikian juga dengan warga Dusun Kapalo Koto yang mengungsi di titik-titik aman dekat kampung itu, belakang Pasar Tandikat. Ketiga titik pengungsian tersebut, masih berada di Nagari Tandikat.

Kondisi di pengungsian tentu tidak seindah di lindungan rumah sendiri. Apalagi yang menumpang di rumah sanak famili. Di tenda atau shelter sementara sekalipun, pengaruh lingkungan dan cuaca tak terelakkan. Alhasil, diare, penyakit kulit dan berbagai macam penyakit khas pengungsi mulai menghinggapi, terutama anak-anak.

Mencapai kawasan bencana Gunung Tigo, sebenarnya tidak sulit lagi. Banyak penunjuk arah darurat menuju kawasan tersebut. Cuma saja, antara jalan dan timbunan longsor sudah tidak jelas lagi. Sama-sama merah, sama-sama berlumpur. Hati-hati, memilah jalan.

Aktivitas di tiga dusun tersebut, diwarnai lalu-lalang manusia. Meski tak banyak, sulit dibedakan mana penduduk dusun yang kehilangan rumah sebagai korban, mana yang pengunjung. Sebab, wajahnya sama-sama miris. Hingga saat ini, sebagian besar warga korban longsor masih bertahan di tenda dan shelter darurat yang dibuatkan relawan dari sejumlah organisasi.

Sebagian yang masih kuat untuk beraktivitas, kembali ke lokasi longsor sekadar mencari rumah yang tinggal atap atau membereskan sisa-sisa barang yang masih berguna. Tujuannya hanya satu, membangun kembali tempat berteduh yang baru. Seperti pasangan Ali Abuzar, 52 dan Teteang, 50 ini. Meski rumah mereka sudah lesap ditelan longsor, untuk ke depan mereka tidak akan pindah jauh dari dusun Kapalo Koto, Korong Pulau Air.

Meski di dusun tersebut empat orang buah hatinya berkubur, tanah di dusun tersebut masih manis buat meneruskan hidup. Tawaran untuk relokasi mentah-mentah mereka tolak, meski dipindahkan di kabupaten Padangpariaman juga.

“ Biarlah di sini saja. Tidak sanggup kami jauh dari makam anak-anak kami yang entah dimana tepatnya,” ujar Ali dengan mata berkaca-kaca jika mengingat kejadian tersebut.

Secara umum, 500-an warga di tiga dusun tersebut masih menimbang-nimbang keputusan untuk relokasi. Meski belum ada arahan ke sana, namun warga masih sibuk dengan kira-kira. Semoga saja, memasuki masa recovery, kepastian itu ada. (***)

Tidak ada komentar: